Kesaksian Pdt. Samuel Irwan \u2013 AIRMATAKU (tidak lagi) MENJADI MAKANANKU<\/p>\n
Tanggal 14 Januari 2010 saya mendengarkan langsung kesaksian Pdt Samuel Irwan. Suatu kesaksian yang mengharu-biru.<\/p>\n
Beliat pernah terkena penyakit kulit maha dahsyat yang sekarang meninggalkan jejak di matanya. Tidak bisa menangis lagi karena kelenjar air matanya sudah mampet akibat penyakit yang dialaminya. Melihat penampilan beliau ketika berkotbah, sepintas tidak ada perbedaan dengan orang lain pada umumnya, kecuali mata yang kelihatan agak basah \u2026<\/p>\n
Menelusuri kesaksiaannya, jelas sekali panggilan beliau adalah sebagai hamba Tuhan. Samuel Irwan, sejak umur 14 tahun sudah melayani Tuhan, dan setahun kemudian sudah menjadi pengkhotbah cilik. Setamat SMA, Samuel Irwan melanjutkan pendidikan di Sekolah Theologia STT Tawangmangu. Di sekolah inilah Samuel Irwan mengalami pembentukan karakter lebih lagi, dan sebelum lulus Samuel Irwan bernazar, kelak akan melayani Tuhan sepenuh waktu, di manapun Tuhan akan mengutus dan menempatkannya.<\/p>\n
Setelah lulus dari STT Tawangmangu, tahun 1993 Samuel Irwan menjalani masa praktek dan ditempatkan di Kecamatan Mangkupalas, Samarinda, Kalimantan Timur. Di tempat inilah ia mulai menjalani kehidupan sebagai hamba Tuhan sepenuh waktu. Semua dijalani dengan sukacita dan penuh semangat walaupun harus meninggalkan kehidupan nyaman di Surabaya dan menjalani kehidupan yang<\/p>\n
berat di Kalimantan dengan persembahan kasih yang sangat kecil. Hanya Rp 80.000 per bulan.<\/p>\n
Tinggal di rumah yang sangat sederhana, banyak tikus berkeliaran, mengepel rumah, mencuci pakaian dan piring di parit, membersihkan gereja, melayani sebagai pengerja di gereja adalah kegiatan yang dijalaninya hari demi hari. Tidak terasa sudah dijalani selama 2 tahun.<\/p>\n
\u201cBagaimana saya bisa berumah tangga dengan kehidupan ekonomi yang minim seperti ini? Mana ada yang mau jadi istri saya?<\/p>\n
Mana ada orang tua yang mau memberikan anak perempuannya kepada saya? Bagaimana saya bisa menghidupi keluarga saya?\u201d<\/p>\n
Berbagai pertanyaan dan keluhan mulai menyesakkan hatinya di tengah-tengah kerinduan untuk mulai membina rumah tangga. Dan hatinya memang sudah mulai terpaut dengan seorang gadis cantik yang dikenalnya di pertandingan vocal group di sebuah gereja di Samarinda. Samuel Irwan mulai memikirkan untuk tidak lagi menjadi hamba Tuhan sepenuh waktu. Apalagi banyak testi anak-anak Tuhan yang sukses dalam pekerjaan tapi juga tetap setia melayani Tuhan, membuat ia memutuskan berhenti jadi<\/p>\n
fulltimer dan mulai melamar pekerjaan sekuler.<\/p>\n
Ketika gembala sidang bertanya tentang nazarnya, Samuel Irwan berkata, \u201cSaya meralat nazar saya.\u201d Airmata dan perkataan gembala sidang, \u201cGereja memang nggak bisa memberikan gaji besar, tapi Tuhan mampu pelihara hidupmu\u2026..\u201d tidak mampu<\/p>\n
menghentikan tekad Samuel Irwan untuk berhenti jadi fulltimer gereja.<\/p>\n
Berbekal ijazah SMA, kemampuan komputer dan Inggris, tahun 1995, Samuel Irwan diterima bekerja di sebuah perusahaan kayu. Benar-benar mulai dari posisi bawah , hanya sebagai operator radio. Karena keuletannya dalam bekerja dan kemampuannya di bidang komputer, hanya dalam waktu 5 bulan ia diangkat menjadi kepala produksi log di perusahaan kayu itu.<\/p>\n
Berkat finansial mulai mengalir dengan deras sehingga bisa mengontrak rumah, membeli perabotan, sepeda motor membuatnya yakin berada di track yang benar.<\/p>\n
Menikah dengan Erna S. Tjandra, di tahun 1996 dan dikaruniakan seorang putri setahun berikutnya membuat kebahagiannya semakin lengkap. Kedudukan tinggi di perusahaan, punya istri, anak, rumah, kendaraan. What else could make him happier?<\/p>\n
Kalau dulu saat ingin bekerja di dunia sekuler, Samuel Irwan berkata kepada Tuhan, akan melayani Tuhan sambil bekerja, sekarang keinginan melayani sudah tidak prioritas lagi. Peringatan dari hamba-hamba Tuhan yang mengingatkan akan nazarnya tidak diindahkan.<\/p>\n
2 Januari 1998, Samuel Irwan merasakan keluhan masuk angin, demam, tenggorokan sakit dan mata merah. Sepertinya sakit biasa. Berobat ke dokter mata, dan diberikan paracetamol untuk menurunkan demam. Keesokan harinya, ternyata demam tidak kunjung turun juga, malah mulai timbul bintik-bintik merah pada lengannya. Telapak tangan dan kaki terasa sakit dan nyeri jika memegang atau menginjak suatu benda keras.<\/p>\n
Berinisiatif sendiri untuk pergi ke dokter umum dan diresepkan obat pembunuh virus Zoter 400mg karena menurut diagnosa dokter ia terkena infeksi virus ditambah dengan obat penurun panas. Samuel tidak menceritakan kepada dokter umum itu bahwa ia juga diberi beberapa jenis obat oleh dokter mata. Selain itu ia juga membeli beberapa obat flu bebas dan jamu, apa saja yang menurut pengetahuannya bisa menyembuhkan gejala-gejala yang dialaminya. Setibanya di rumah, Samuel Irwan meminum semua obat dari kedua dokter tersebut, ditambah obat bebas yang dibeli sendiri, semua dengan dosis yang tertulis, karena ingin cepat sembuh.<\/p>\n
Akibatnya sungguh mengerikan karena mencampur sendiri beberapa jenis obat tersebut. Bintik-bintik merah itu mulai melepuh dan gosong, dan mulai merambat sampai ke dada, tengkuk, leher, muka dan kondisi mata semakin memburuk, semakin merah. Kerongkongan, rongga mulut dan lidah juga melepuh. Tidak cukup sampai di situ, kondisi ini semakin tambah parah karena di<\/p>\n
kulit seperti ada air dan nanah yang membusuk.<\/p>\n
Dirujuk ke RS di Samarinda, 7 Januari 1998 Samuel Irwan menjalani rawat inap. Salah seorang anggota tim dokter yang menangani, seorang dokter kulit mengatakan bahwa Samuel Irwan mengidap penyakit Stevens-Johnson Syndrome (SJS) stadium 3.<\/p>\n
Kondisi tubuh Samuel Irwan saat itu seperti orang yang terkena luka bakar 80%. Semua bagian tubuh tidak ada yang terluput; melepuh, gosong, dan bernanah, dari kepala sampai ujung kaki, kecuali paha dan betis.<\/p>\n
Samuel Irwan mengingat masa itu, \u201cKalau sedang tidur dengan posisi miring, dan tidak hati-hati dan pelan-pelan menggerakkan wajah ke posisi lain, maka kulit muka akan tercuil dan lengket di seprei. Pediihhh sekali\u2026..\u201d<\/p>\n
Demam juga tidak kunjung turun, sampai 42 derajat Celcius, sehingga kalau sedang menggigil ranjang bergoncang dengan kerasnya seperti sedang gempa bumi. Harus dimasukkan ke ruang isolasi, bukan karena SJS ini adalah penyakit menular, tetapi karena takut penyakit pasien lain menular kepada Samuel Irwan yang dapat memperburuk keadaannya.<\/p>\n
Suatu hari mata yang selalu merah itu seperti kelilipan dan Samuel meminta suster untuk menyiram matanya dengan boorwater. Ketika bangun tidur, bukannya jadi baikan, ternyata malah kedua belah mata jadi putih semua, seperti ditutupi kertas HVS putih.<\/p>\n
Samuel Irwan sangat marah kepada para dokter dan suster yang merawatnya. Dan juga sangat marah kepada Tuhan, \u201cTuhaaaan\u2026.. saya butuh mata ini untuk bekerja\u2026..\u201d<\/p>\n
Saat di batas akhir kekuatannya, saat mata tidak lagi bisa dipakai untuk melihat, Samuel Irwan minta pengampunan kepada Tuhan. <\/p>\n
Dokter di Samarinda semuanya sudah angkat tangan dan merujuk Samuel Irwan ke rumah sakit di Surabaya . Malam sebelum keberangkatan ke Surabaya , Samuel Irwan menyadari panggilannya kembali. Ia memanggil gembala sidangnya yang dulu, untuk berdoa minta ampun karena lari dari Tuhan. Saat itu Samuel Irwan berjanji jika Tuhan masih beri kemurahan untuk hidup<\/p>\n
maka ia akan melayani Tuhan sepenuhnya kembali.<\/p>\n
Dengan bantuan seorang gembala GBI di Samarinda, Samuel Irwan dibawa ke Surabaya . Kondisi Samuel saat itu tidak bisa berjalan lagi karena kaki juga melepuh. Saat akan naik tangga pesawat, karena tidak bisa berjalan, seorang portir<\/p>\n
yang tidak mengetahui penyakitnya, berusaha menolong dengan menggendong Samuel ke kabin pesawat. Gerakan tiba-tiba mengangkat Samuel yang sedang duduk di kursi roda, membuat kulitnya robek tertarik, dan Samuel menjerit keras sekali. Perjalanan yang sangat tidak mudah untuk sebuah harapan kesembuhan.<\/p>\n
Tim dokter yang menerima di Surabaya sangat kaget melihat kondisi tubuh Samuel Irwan. Mereka tidak menyangka kondisi Samuel sudah begitu parah sekali. Sebelumnya mereka pernah menangani pasien yang mengidap sakit SJS ini dengan kondisi hanya sepertiga dari kondisi Samuel. Pasien ini akhirnya meninggal dunia, \u2026. apalagi Samuel?<\/p>\n
Saat baju dibuka untuk dirontgen, kulit punggung kembali robek. Warna yang putih dipunggung adalah daging yang kelihatan akibat kulit tersobek, dan warna merah adalah darah yang keluar.<\/p>\n
Detail hasil rontgen: lambung, pankreas, liver, bagian-bagian dalam tubuh, semuanya rusak. Sehingga diperkirakan Samuel hanya bisa bertahan 3 minggu. Karena sudah menjalani penyakit SJS ini sejak 2 Januari 1998, maka diperkirakan Samuel Irwan hanya bisa bertahan sampai 23 Januari 1998. Sehingga diminta untuk segera menghadirkan istrinya ke Surabaya , membawa anak mereka yang baru berusia 2 bulan.<\/p>\n
Seorang dokter kulit lulusan Jerman berkata, kalaupun Samuel bisa sembuh dari penyakit SJS ini, perlu 2 tahun untuk recovery kondisi kulitnya untuk kembali seperti semula. Dokter mata, yang juga lulusan Jerman berkata, kalaupun sembuh, akan buta<\/p>\n
selamanya, tidak ada lagi harapan untuk mata Samuel.<\/p>\n
Tiada dasar untuk berharap, namun Samuel Irwan tetap berharap kepada Tuhan seperti Abraham dalam kitab Roma, Sebab sekalipun tidak ada dasar untuk berharap, namun Abraham berharap juga dan percaya, bahwa ia akan menjadi bapa banyak bangsa, menurut yang telah difirmankan: \u201cDemikianlah banyaknya nanti keturunanmu.\u201d<\/p>\n
Imannya tidak menjadi lemah, walaupun ia mengetahui, bahwa tubuhnya sudah sangat lemah, karena usianya telah kira-kira seratus tahun, dan bahwa rahim Sara telah tertutup. Tetapi terhadap janji Allah ia tidak bimbang karena ketidakpercayaan,<\/p>\n
malah ia diperkuat dalam imannya dan ia memuliakan Allah, dengan penuh keyakinan, bahwa Allah berkuasa untuk melaksanakan apa yang telah Ia janjikan.<\/p>\n
Ayat ini layak ditujukan kepada Erna Tjandra, istri dari Samuel Irwan, yang dengan tekun merawat suaminya. Tidak pernah sekalipun menunjukkan kejijikan kepada suami yang sudah sangat hancur tubuhnya. Dengan kondisi yang sudah sangat berbau busuk dan amis, tidak pernah sekalipun Erna masuk ke ruangan isolasi dengan memakai masker. Tidak pernah sekalipun. Dengan setia ia merawat borok-borok di tubuh Samuel, menyikat gigi Samuel dengan jari-jarinya, membersihkan kotoran di ranjang, semua dilakukan tanpa mengeluh dan selalu tersenyum.<\/p>\n
Semua dilakukan dengan kasih. She showed us an unconditional love. Tidak terkira impartasi kekuatan yang diberikannya kepada sang suami yang sedang berjuang melawan maut. Erna berkali-kali menguatkan Samuel untuk tetap berharap kepada Tuhan. <\/p>\n
Rutinitas pengobatan Samuel setiap hari juga menjadi rutinitas penderitaannya. Tubuh yang sudah melepuh, gosong, bernanah itu setiap hari harus diberi salep dan diperban. Esok paginya perban itu harus diganti. Ketika perban dibuka maka kembali<\/p>\n
kulitnya sobek dan menempel di perban tsb. Sakit sekali, dan harus dijalani selama 1,5 jam dari pukul 9 pagi sampai 10.30 siang. Setiap hari selama 1,5 jam berteriak-teriak kesakitan. Demikian juga ketika seprei akan diganti. Kembali kulit akan tersobek dan lengket di sprei.<\/p>\n
Dukungan dari istri dan pihak keluarga Samuel Irwan sangat besar sekali. Tak henti-hentinya mereka berdoa puasa rantai memohon kemurahan Tuhan untuk menyembuhkan Samuel.<\/p>\n
Tapi keadaan Samuel bukannya membaik, malah bertambah parah. Ke 20 kuku di jari-jarinya copot satu persatu, telapak tangan dan kaki menggelembung berisi air, telinga dan hidung melepuh mengeluarkan darah. Berat badan turun dari 68 kg menjadi 43 kg. Sistem reproduksi juga diserang sehingga diperkirakan kalaupun sembuh tidak bisa punya keturunan lagi. Keadaan Samuel bukannya makin sembuh, malah semakin parah.<\/p>\n