Sumber Artikel: Jawaban.com<\/strong><\/td>\n<\/tr>\n\n | Weweh paling tidak percaya kepada dukun, namun demi kesembuhan anaknya yang bertahun-tahun mengalami muntah-muntah, ia membawanya juga. \u201cSaya ganti lagi dukun, 3 kali saya pergi, begitu lagi, saya ganti lagi, kemana-mana sampai saya ke luar kota. Semua dukun-dukun itu sudah saya lakukan.\u201d<\/p>\n Tidak hanya ke dukun, pengobatan alternatif, urut, dan sinshe telah dilakukan. Tapi Marcel tidak kunjung sembuh. \u201cSaya begitu emosi, saya begitu panik. Anak saya salah sedikit saya marah-marah. Si Marcel tidak tidur saya bisa pukul, karena emosi saya sudah memuncak, saya sudah stress.\u201d<\/p>\n Di usia 9 bulan, Marcel menderita muntaber. Sejak itu, ia terus menerus muntah-muntah tanpa sebab. Ketika Marcel sedang tidak makan dan tidak minum, atau saat dia sedang bermain atau tidur, dia tiba-tiba saja muntah-muntah. \u201cKalau sudah muntah kita buru-buru bawa ke rumah sakit. Jarum infus itu masuk ke tangan atau kakinya, dia sudah meronta-ronta, kita pegangin semua, sampe dia teriak, \u201cPapa sakit, Pa Marcel sakit\u2026\u201d<\/p>\n Segala upaya untuk mengobati Marcel telah dilakukan, dari dokter satu ke dokter lainnya, dari metode pengobatan satu ke metode lainnya. \u201cKita sudah lakukan baringrum, kita sudah lakukan endoskopi, kita sudah lakukan MRI, otaknya discan, darahnya dibawa ke Singapur, seperti itu. Itu semua tidak ada apa-apa. Kalo diinfus mungkin kita tidak sadar. Tapi kalau endoskopi itu dimasukin alat, difoto di bagian dalam itu. Saya tidak bisa membayangkan waktu itu nangisnya Marcel seperti apa.\u201d<\/p>\n Marcel tetap mengalami muntah-muntah, sekalipun ia berkali-kali masuk rumah sakit dan hasil pemeriksaan dokter mengatakan bahwa tidak ada penyakit dalam tubuhnya. \u201cHati saya begitu hancur, hati saya merasa sedih sekali, buat apa penderitaan begini terjadi pada keluarga saya?\u201d<\/p>\n Marlina, istri Weweh, juga merasa putus asa terhadap Tuhan, \u201cKenapa kok Tuhan buat anak saya seperti ini? Dalam keadaan dia sakit saya pukulin, sebenarnya saya sedih, saya merasa berdosa\u2026\u201d<\/p>\n Agar Marcel bisa tidur, orang tuanya membawanya infus keliling, karena banyak cairan yang terbuang yang harus digantikan oleh cairan infus. Selama Weweh berdoa, teman-temannya mendukung dia dan mengatakan agar dia bersabar dan berpasrah. Tapi tidak lama lagi setelah itu Marcel kembali masuk rumah sakit.<\/p>\n \u201cTerakhir kali Marcel masuk rumah sakit, saya begitu marah, saya marah sama Tuhan. Saya sampai berkata kasar sama Tuhan, Tuhan itu berada pada orang-orang yang kaya, Tuhan itu berada pada orang-orang yang sehat. Kepada saya, orang yang menderita, orang yang tidak punya uang, Tuhan tidak ada.\u201d Tiga bulan berikutnya dari terakhir Marcel masuk rumah sakit,Tuhan menjawab doa Weweh dan istrinya. Marcel tidak muntah-muntah lagi dan obatpun dihentikan. Marlina sangat bersyukur, \u201cPenantian saya selama saya menunggui Marcel di rumah sakit selama 66 kali sudah terasa capek. Tuhan baik, Tuhan mau jawab doa saya.\u201d<\/p>\n Weweh berkata bahwa Tuhan hanya menguji imannya supaya dia bisa lebih dekat lagi padaNya, \u201cDalam kesembuhan anak saya Marcel, saya semakin lebih taat lagi. Waktu-waktu saya, saya coba untuk menyenangkan hati Tuhan. Tuhan sudah mengangkat penderitaan itu, dari oktober 2004 sampai sekarang ini, Marcel sudah tidak kumat lagi.\u201d<\/td>\n<\/tr>\n<\/tbody>\n<\/table>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":" Sumber Artikel: Jawaban.com Weweh paling tidak percaya kepada dukun, namun demi kesembuhan anaknya yang bertahun-tahun mengalami muntah-muntah, ia membawanya juga. \u201cSaya ganti lagi dukun, 3 kali saya pergi, begitu lagi, saya ganti lagi, kemana-mana sampai saya ke luar kota. Semua dukun-dukun itu sudah saya lakukan.\u201d Tidak hanya ke dukun, pengobatan alternatif, urut, dan sinshe telah dilakukan.…<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":1540,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"_mi_skip_tracking":false,"footnotes":""},"categories":[3],"tags":[],"class_list":["post-1539","post","type-post","status-publish","format-standard","has-post-thumbnail","hentry","category-kesaksian"],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1539","targetHints":{"allow":["GET"]}}],"collection":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/users\/1"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=1539"}],"version-history":[{"count":1,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1539\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":1541,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1539\/revisions\/1541"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/media\/1540"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=1539"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=1539"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=1539"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}} |