Sejak kecil saya (WS) dididik sebagai orang Kristen oleh orang tua saya. Tetapi dalam perjalanan hidup kekristenan itu, saya mengalami kemunduran oleh karena keangkuhan diri. Contohnya, saya meninggalkan gereja karena saya merasa pengurus gereja meremehkan saya dengan tidak menatap mata saya pada saat bersalaman setelah kebaktian. Jika istri saya mengajak pergi ke gereja, salah satu cara saya untuk menghindar adalah dengan datang terlambat ke gereja; kebaktian biasanya dimulai pukul 09.00 pagi dan saya berangkat dari rumah dengan kecepatan rendah, sehingga tiba di gereja pukul 10.00 lebih. Dengan alasan “malu” karena sudah terlalu terlambat, maka kami pergi ke tempat lain. Karena kesuksesan saya dalam bisnis, saya merasa bahwa sayalah yang memunyai kemampuan dan kepandaian yang hebat, sehingga bukan saja keangkuhan saya semakin menjadi-jadi, tetapi saya pun semakin jauh dari Tuhan.<\/p>\n
Pada saat Irak menyerang Kuwait, peperangan tersebut ternyata berindikasi buruk terhadap keadaan perekonomian di Indonesia. Pemerintah membentuk “Crisis Center” dan beberapa pengusaha — termasuk saya — mendapat tugas untuk mengatasi penurunan volume ekspor karena embargo PBB terhadap Irak, dengan mengembangkan ekspor ke negara-negara lain yang sebelumnya belum tergarap oleh para pengusaha Indonesia. Untuk itu, pemerintah memberikan dukungan penuh, agar para pengusaha yang ditunjuk dapat melakukan usahanya di negara-negara tersebut dengan sebaik-baiknya. Saya ditunjuk untuk menangani daerah Eropa Timur (bekas negara-negara komunis) dan beberapa negara lain di luar kawasan itu. Hanya dalam kurun waktu 2 tahun, saya telah membentuk 12 perusahaan patungan di 12 negara di daerah tersebut, karena kami didukung sepenuhnya oleh pemerintah, sehingga segala fasilitas, terutama yang menyangkut dengan keuangan, kami peroleh dengan mudah tanpa melalui prosedur yang bertele-tele. Kami juga sangat disegani oleh para wakil pemerintah di negara-negara tersebut, karena kami dianggap sebagai utusan-utusan khusus pemerintah dengan tugas penting — untuk kepentingan ekonomi Indonesia.<\/p>\n
Pada tahun 1993-1994 terjadi gejolak di negara-negara Eropa Timur dan terjadi reformasi besar-besaran. Pasar dibuka dengan berbagai kemudahan tetapi tidak didukung dengan hukum yang jelas, sehingga para investor asing mengalami kesulitan dengan hukum yang tidak jelas, inflasi yang luar biasa tinggi, serta tidak memunyai dukungan pemerintahan negara-negara di Eropa Timur untuk menjaga stabilitas moneternya. Dalam waktu kira-kira tiga bulan, perusahaan-perusahaan kami di daerah tersebut mengalami kehancuran, dan ini merembet ke anak-anak perusahaan di negara-negara lain, termasuk perusahaan induknya. Sebagai dampaknya, bukan saja seluruh struktur keuangan dari perusahaan kami mengalami kehancuran, tetapi kami tidak mampu membayar karyawan yang berjumlah ratusan. Hanya lima orang karyawan yang sudah bekerja selama belasan tahun yang bersedia melalui masa-masa yang sulit bersama dengan saya dan mereka tidak menerima gaji untuk beberapa bulan.<\/p>\n
Saya mengalami depresi yang berat dan merasa malu dengan segala kegagalan tersebut, dan untuk beberapa bulan saya tidak mau dan tidak berani bertemu dengan orang-orang. Pada saat saya sedang berjalan dalam krisis tersebut, Tuhan mengutus seorang ibu datang memberikan sebuah buku yang berjudul “That The Strong Man Should Stand”. Setelah membacanya, saya mulai sadar dan kembali kepada Tuhan. Sebuah Alkitab yang sudah berdebu karena tidak pernah disentuh selama bertahun-tahun mulai saya baca kembali. Bahkan saya menyelesaikan pembacaan Alkitab itu hanya beberapa bulan.<\/p>\n
Pada suatu hari, sebuah faks penawaran harga tersasar ke kantor kami. Karyawan kami yang tinggal 5 orang dan bekerja secara sukarela bertanya kepada saya, apakah faks tersebut perlu dijawab atau tidak. Karena saya berpikir permintaan tersebut tidaklah serius dan saya tidak pernah memunyai hubungan dagang dengan Korea Selatan sama sekali, maka saya berkata agar ia membalas secukupnya saja. Selang beberapa waktu kemudian, penawaran yang kami buat dibalas, bahkan mereka mengirim kontrak melalui faks tanpa menawar harga sebelumnya, serta berpesan “Kontrak pemesanan akan segera diurus”. Segera staf saya menandatangani kontrak tersebut lalu mengirimkannya kembali. Suatu hari, staf saya menerima telepon dari sebuah bank agar kami mengambil dokumen yang ternyata adalah sebuah L\/C (Letter Of Credit) yang sudah dibuka sejak 2 bulan yang lalu dan masa berlakunya 3 bulan. Staf saya menunjukkan kepada saya L\/C orisinal yang bernilai sama seperti ekspor kelima negara di Eropa Timur. Saya mengucap syukur sambil menangis di hadapan Tuhan. Saya melihat bahwa Tuhan itu baik dan memberikan pertolongan-Nya pada saat yang tepat.<\/p>\n
Pada suatu hari, perusahaan kami yang bergerak di bidang perkayuan dan kayu gelondongan menyewa sebuah kapal yang besar untuk mengangkut kayu gelondongan tersebut. Ternyata muatan yang harus diangkut belum tersedia, sehingga kapal tersebut harus menunggu. Saya memutuskan untuk pergi ke Banjarmasin dan menyelesaikan persoalan tersebut. Sementara itu istri saya, tanpa sepengetahuan saya, telah membuat janji untuk mengikuti rekaman acara rohani di studio. Hal ini telah membuat saya emosi kepada istri saya. Tetapi saya sadar, bahwa saya telah berjanji untuk melakukan pekerjaan Tuhan dan akhirnya saya mengisi rekaman sampai jam 12.00 siang. Karena studio tersebut dipakai oleh artis-artis, maka rekaman untuk kami ditunda, sehingga mengakibatkan saya tidak dapat berangkat ke Banjarmasin, dan hanya relasi saya yang sudah berangkat lebih dahulu untuk menunggu saya di sana.<\/p>\n
Malam harinya, saya menyaksikan siaran berita di TV. Saya sangat terkejut ketika mendengar sebuah pesawat yang lepas landas dari Banjarmasin, 30 menit kemudian jatuh dan terbakar, dan tidak ada seorang pun yang selamat. Ternyata pesawat itu adalah pesawat yang membawa rekan saya dan nama saya tercantum dalam daftar penumpang, karena rekan saya sudah “check-in” tiket atas nama saya dan saya ditinggal karena saya belum tiba pada saat keberangkatan. Saat itu saya baru merasakan bahwa sesungguhnya hidup itu ada di tangan Tuhan, dan Tuhan masih memberikan kesempatan kepada saya untuk hidup karena Dia masih ingin memakai saya untuk bekerja bagi Dia di dunia ini. Sejak saat itu, saya memberikan sebagian besar waktu saya untuk melayani Tuhan dan sisanya saya gunakan untuk kegiatan bisnis. Saya ingin mengatakan, “Pada saat saya merasa mampu, sebenarnya saya lemah, dan pada saat saya jauh dari Tuhan, saya sebenarnya tidak berdaya. Tetapi pada saat saya di dalam Dia, maka saya menjadi kuat”.<\/p>\n
<\/p>\n
<\/p>\n
<\/p>\n
<\/p>\n
Mari menjadi Garam & Terang dunia melalui kesaksian hidup kita yang memberkati.<\/p>\n
DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:<\/p>\n
Saya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
\nSaya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
\nDan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
\nSaya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
\nSaya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN. <\/p>\n
Sumber: http:\/\/sabda.org<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"
Sejak kecil saya (WS) dididik sebagai orang Kristen oleh orang tua saya. Tetapi dalam perjalanan hidup kekristenan itu, saya mengalami kemunduran oleh karena keangkuhan diri. Contohnya, saya meninggalkan gereja karena saya merasa pengurus gereja meremehkan saya dengan tidak menatap mata saya pada saat bersalaman setelah kebaktian. Jika istri saya mengajak pergi ke gereja, salah satu…<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":15552,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"_mi_skip_tracking":false,"footnotes":""},"categories":[3],"tags":[],"class_list":["post-15551","post","type-post","status-publish","format-standard","has-post-thumbnail","hentry","category-kesaksian"],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/15551","targetHints":{"allow":["GET"]}}],"collection":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/users\/1"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=15551"}],"version-history":[{"count":1,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/15551\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":15553,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/15551\/revisions\/15553"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/media\/15552"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=15551"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=15551"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=15551"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}