Nama saya Bezaleel Subhan, atau biasa dipanggil Subhan. Saya tergabung dalam sebuah gangster di Jakarta, dan saya bangga akan itu, karena nama besar yang saya sandang. Sudah pasti perkelahian menjadi makanan sehari-hariku.<\/p>\n
Saya adalah pencinta darah! Setiap kali selesai melakukan kekerasan, saya selalu menjilat darahnya di depan mata si korban saya itu.<\/p>\n
Penusukan dan pemukulan membuat pundi-pundi harta saya bertambah banyak. Saya semakin beringas. Emosi saya tidak dapat dikendalikan. Suatu kali, saya dan teman-teman pergi ke klab malam. Saya sedang mengobrol dengan pacar saya. Ada teman saya yang memandangi pacar saya dengan tatapan aneh, dan saya langsung berpikiran bahwa dia mau macam-macam dengan pacar saya. Saya mau bunuh dia.<\/p>\n
Adu jotos pun tak terelakkan. Saya selalu menyelesaikan masalah dengan kekerasan.<\/p>\n
Sifat keras dan kasar saya mungkin memang sudah turunan dari sononya. Pasalnya, sejak kecil saya sudah melihat langsung kekerasan di dalam keluarga saya.<\/p>\n
Belasan tahun sebelumnya\u2026.<\/p>\n
Waktu itu saya masih kecil, sekitar usia bangku SD. Berkali-kali di rumah saya menyaksikan Papi memukul Mami. Kalau Papi mukul Mami itu sadis. Mami sampai nangis dan teriak, dan tetangga sekitar bisa mendengar.<\/p>\n
Pernah, Mami dipukul Papi sampai kepala Mami sobek. Mami meminta saya untuk mencukur rambutnya; Mami ingin membotakkan kepalanya!<\/p>\n
Terus terang, saya kasihan melihat Mami diperlakukan begitu oleh Papi. “Mami mendingan pergi aja deh dari rumah, biar Mami engga dipukulin Papi lagi,” kataku kepada Mami waktu itu.<\/p>\n
Mami cuma berkata, “Nak, kamu jangan marah kepada Papimu. Papimu itu sedang sakit. Jangan menjauhi dia, ya?”<\/p>\n
Aku hanya mengangguk.<\/p>\n
Saya sempat memergoki Papi sedang melakukan ritual gaib di kamarnya. Dari situlah saya sadar bahwa Papi selama ini memakai ilmu hitam untuk menghimpun kekuatannya. Karena dia tidak bisa mengontrol kekuatan yang ada dalam dirinya, makanya Papi sering ngamuk. Itulah akibat dari okultismenya.<\/p>\n
Itulah kilasan balik peristiwa di masa kecil yang melatarbelakangi kekerasan yang sering saya lakukan.<\/p>\n
Saya punya kerinduan agar keluarga saya baik-baik saja. Saya mencari tahu bagaimana caranya supaya Papi bisa lepas dari jerat okultismenya. Nyatanya tak ada hasil padahal semua usaha sudah saya coba.<\/p>\n
Pada suatu hari saya bermain basket. Saat sedang istirahat, saya bertemu dengan seorang pemuda yang usianya mungkin sebaya saya. Namanya David. Saya berkenalan dengan dia dan mulai saling mengobrol. Melihat ketulusannya, saya jadi tidak ragu untuk terbuka menceritakan permasalah keluarga saya.<\/p>\n
“Vid, lu bisa bantu gue, engga?” tanyaku. “Gue pengen keluarga gue bahagia, bokap gue sembuh, dan bokap mau melepaskan ikatan okultismenya.”<\/p>\n
David langsung menjawab, “Ada satu pribadi yang akan menolong lu. Lu harus percaya dan menerimanya, Subhan. Pribadi itu namanya Yesus, Isa Almasih.”<\/p>\n
David mendorong saya untuk percaya dan menerima Yesus. Namun dia mengingatkan bahwa masih ada tugas saya. “Itu semua harus berawal dari kamu, Subhan. Kamu harus berubah dulu, baru Papi kamu bisa berubah,” kata David. “Kamu bisa menyembuhkan Papi kamu.”<\/p>\n
Kemudian David memberi saya Alkitab dan buku renungan harian. “Gue harap lu bisa baca itu setiap hari. Di sini lu bisa tahu tentang apa yang mau Tuhan lakukan dalam hidup lu,” pungkasnya.<\/p>\n
Saya menerima dua buku pemberian David. Tapi, saya masih bingung bagaimana harus berdoa untuk Papi saya. “Yaealah..” kata David. “Lu enggak usah bingung. Lu ngomong aja langsung sama Tuhan pakai bahasa lu sendiri! Tuhan tahu hati lu.”<\/p>\n
Mulai saat itu, saya berdoa buat Papi.<\/p>\n
Beberapa minggu kemudian, saya menerima telepon dari keluarga. Kebetulan saat itu saya sedang berada di Surabaya. Saya mendapat berita bahwa Papi meninggal!<\/p>\n
Saya jatuh tersungkur saat itu juga. Mengapa seperti ini? Waktu saya berdoa buat ayah saya, kok dia malah jadi meninggal? Itu membuat saya marah.<\/p>\n
Seketika itu juga, terkenang kembali masa kecil saat Papi suatu kali memberikan saya bola basket. Bagaikan film, gambaran itu bermain di kepala saya.<\/p>\n
“Ini bola basket, Papi beliin buat kamu. Tapi kamu latihan yang rajin, ya, supaya kamu jago,” kata Papi.<\/p>\n
“Makasih, Papi!” kataku gembira.<\/p>\n
Papa mengulurkan tangannya di bahuku. “Kamu tahu enggak, Papi itu sangat sayang sama kamu,”lanjutnya.<\/p>\n
Momen inilah yang saya tidak lupa : Papi mengantar saya ke lapangan basket, beliau membuatkan saya ring basket di rumah bareng saya\u2026 Jadi, Papi juga punya sisi baik yang membekas dalam ingatan.<\/p>\n
Makanya, begitu saya tahu Papi meninggal saya marah kepada Tuhan karena saya “kan belum sempat membahagiakan dia.<\/p>\n
Dengan perasaan gundah gulana, saya pun membereskan barang-barang untuk pulang ke Sulawesi. Saat sedang memasukkan pakaian ke tas, tak sengaja saya membaca isi buku renungan harian yang terletak di atas ranjang. Di situ tertulis, “Mengucap syukurlah engkau karena semua itu adalah rencana-Nya.”<\/p>\n
Pada saat nangis dan disuruh mengucap syukur seperti itu, saya jadi marah.<\/p>\n
Dalam perjalanan menuju bandara, saya merenungkan isi renungan tadi. Dan saya menantang Yesus pada waktu itu, “Oke, Tuhan, kalau memang ayah saya meninggal dan kini ada bersama-Mu, saya minta Engkau buat jenazah ayah saya tersenyum.”<\/p>\n
Sesampainya saya di Sulawesi, saya langsung dijemput untuk melihat jasad ayah.<\/p>\n
Mami menghampiriku dan berkata, “Nak, Papimu sekarang sudah ada di sorga.”<\/p>\n
“Maksud Mami gimana?” tanyaku kebingungan.<\/p>\n
“Sebelum Papi meninggal, dia berdoa bersama om kamu,” jawab Ibu. Rupanya sebelum meninggal, Papi sempat menceritaakan uneg-unegnya kepada om saya, bahwa dia sudah lelah dengan jimat dan ilmu yang dipegangnya. Papi merasa bersalah kepada Tuhan. Papi bertanya kepada Om apakah dirinya dapat diampuni dan diterima oleh Tuhan.<\/p>\n
“Kamu tidak usah khawatir,” kata Om kepada Papi waktu itu. “Dia sudah terlebih dahulu berkenan menerima pertobatan kamu, karena Dia sangat menyayangimu.”<\/p>\n
Mendengar cerita itu, aku menangis terharu. Tetapi saya masih mau lihat dulu, seperti apakah wajah Papi di dalam peti mati itu. Aku pun mendekat.<\/p>\n
Beliau tersenyum.<\/p>\n
Saya berlutut di depan jenazah Papi. Saya menangis, tapi bukan karena dia meninggal, melainkan karena Yesus hidup dan ayah saya bersama Yesus.<\/p>\n
Kejadian-kejadian yang telah saya alami membuat saya ingin lebih lagi mengenal Yesus, Isa Almasih ini. Siapa Dia sebenarnya?<\/p>\n
Saya kagum dengan Yesus. Dengan pribadi-Nya yang penuh dengan kelemahlembutan, kasih, dan pengendalian diri, Dia mengubah hidup saya begitu banyak. Dan saya mau menjadi seperti Yesus, meniru karakter-Nya.<\/p>\n
Saya harus melatih supaya diri saya berubah.<\/p>\n
David, kawan saya tadi, pernah berkata, “Kalau lu mukulin orang yang bikin lu emosi, itu biasa. Tapi, kalau lu mengasihi orang yang bikin lu emosi, itu yang luar biasa.” Saya pun belajar untuk meninggalkan sifat keras saya dan berubah menjadi orang yang lemah lembut.<\/p>\n
Kini, saya mengisi hari dengan menjadi pelatih parkour dan freestyle basketball. Saya membagikan hal yang baik dengan orang lain. Mengapa? Karena kita sudah terlebih dahulu mendapatkan kebaikan dari Yesus.<\/p>\n
Sumber Kesaksian:<\/p>\n
Bezaleel Subhan<\/p>\n
<\/p>\n
DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:
\nSaya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
\nSaya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
\nDan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
\nSaya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Egkau.
\nSaya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN.<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"
Nama saya Bezaleel Subhan, atau biasa dipanggil Subhan. Saya tergabung dalam sebuah gangster di Jakarta, dan saya bangga akan itu, karena nama besar yang saya sandang. Sudah pasti perkelahian menjadi makanan sehari-hariku. Saya adalah pencinta darah! Setiap kali selesai melakukan kekerasan, saya selalu menjilat darahnya di depan mata si korban saya itu. Penusukan dan pemukulan…<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":1973,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"_mi_skip_tracking":false,"footnotes":""},"categories":[3],"tags":[],"class_list":["post-1972","post","type-post","status-publish","format-standard","has-post-thumbnail","hentry","category-kesaksian"],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1972","targetHints":{"allow":["GET"]}}],"collection":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/users\/1"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=1972"}],"version-history":[{"count":1,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1972\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":1974,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/1972\/revisions\/1974"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/media\/1973"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=1972"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=1972"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=1972"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}