Ketika perayaan Natal di sebuah gereja, semua orang diminta untuk hadir dalam balutan busana hijau atau merah. Semua orang yang datang mengenakan pakaian merah atau hijau. Namun, ada hal yang tidak beres dibagian belakang panggung.<\/p>\n

Niko, salah seorang dalam paduan suara salah mengenakan kostum yang seharusnya merah atau hijau. Dia justru mengenakan setelan jas lengkap dengan dasinya. Melihat Niko yang salah kostum, tentu dong semua orang panik karena paduan suara akan dimulai dalam hitungan menit.<\/p>\n

Melihat kesalahan Niko, Rachel yang merupakan pemimpin paduan suara nggak tinggal diam. Dia menelepon sana sini untuk mendapatkan pakaian berwarna merah atau hijau. Untungnya, ada seorang anggota paduan suara yang rumahnya tidak jauh dari gereja, sehingga bisa meminjami Niko pakaian yang sesuai dengan dress code.<\/p>\n

Setelah berhasil membawakan beberapa lagu Natal di atas panggung, Rachel mendatangi Niko dan memintanya untuk meluangkan waktu sebelum acara ditutup. Pada kesempatan itu, Rachel menegur Niko dalam sebuah ruangan yang jauh dari orang-orang. Rachel meminta agar Niko lebih disiplin kedepannya.<\/p>\n

Pernahkah kita mengalami salah kostum seperti Niko diatas? Pakaian yang indah, mewah atau menawan bisa jadi tidak berarti apapun ketika kita menggunakannya pada acara yang tidak tepat. Sama seperti perkataan. Kalau kita memberi mereka sebuah jawaban, nasihat, maupun teguran, kalau waktunya tidak tepat maka semuanya akan menjadi sia-sia.<\/p>\n

Ketika teguran digunakan dalam kondisi yang tepat, maka teguran kita bisa mengubahkan orang tersebut menjadi pribadi yang lebih baik. Berbeda lagi kalau kita tidak menjadi bijak dalam perkataan. Bisa jadi perkataan kita bukannya membangun, justru malah menjatuhkan seseorang.<\/p>\n

Pada Matius 18:15, \u201cApabila saudaramu berbuat dosa, tegorlah dia di bawah empat mata. Jika ia mendengarkan nasihatmu engkau telah mendapatkannya kembali.\u201d Ayat ini mengajarkan kita untuk mengetahui bagaimana kita seharusnya menegur seseorang atas kesalahan yang diperbuatnya.<\/p>\n

Mengakui sebuah kesalahan membutuhkan sikap yang dewasa, karenanya kita perlu berhati-hati dalam perkataan kita ketika menyadarkan seseorang akan kesalahannya. Tidak heran kalau ada orang yang memilih diam dibanding harus menegur orang yang terlihat bersalah.<\/p>\n

Teguran yang kita lontarkan terhadap orang lain harus berlandaskan sebuah kasih, sehingga kita tidak akan mengumbar kesalahan mereka di hadapan orang lain. Cara untuk menegurnya pun harus dibarengi dengan kejujuran dan terus terang.<\/p>\n

<\/b>Sebelum kita bisa menegur orang, ada baiknya kita juga berkaca terhadap diri sendiri. Apakah kita masih sering melakukan kesalahan yang sama dengan orang tersebut? Jika jawabannya iya, maka kita perlu bergumul dan mengakui kesalahan kita tersebut.<\/p>\n

Wajar kok sebagai manusia kita berbuat kesalahan. Selama kita mau terus memperbaiki diri kita sehingga bisa satu hati dengan Tuhan, bisa sesuai dengan kehendak yang Tuhan mau atas hidup kita, maka tidak ada kata terlambat, kok.  <\/p>\n

Sumber : jawaban.com<\/span><\/p>\n

DOA Memulai Hubungan Pribadi dengan Tuhan Yesus Kristus:
\nSaya percaya bahwa Darah Yesus Kristus yang telah dicurahkan adalah untuk penebusan atas segala hutang dosa saya.
\nSaya percaya hanya melalui Tuhan Yesus saya beroleh pengampunan yang kekal.
\nDan mulai saat ini juga, saya menerima Engkau sebagai Tuhan dan Juruselamat hidup saya pribadi.
\nSaya mengundang ROH KUDUS tinggal didalam hati saya untuk menuntun saya dalam setiap langkah dan pengenalan saya akan Engkau.
\nSaya berdoa Hanya di Dalam Nama Tuhan Yesus Kristus, AMIN.<\/p>\n","protected":false},"excerpt":{"rendered":"

Ketika perayaan Natal di sebuah gereja, semua orang diminta untuk hadir dalam balutan busana hijau atau merah. Semua orang yang datang mengenakan pakaian merah atau hijau. Namun, ada hal yang tidak beres dibagian belakang panggung. Niko, salah seorang dalam paduan suara salah mengenakan kostum yang seharusnya merah atau hijau. Dia justru mengenakan setelan jas lengkap…<\/p>\n","protected":false},"author":1,"featured_media":3264,"comment_status":"open","ping_status":"open","sticky":false,"template":"","format":"standard","meta":{"_mi_skip_tracking":false,"footnotes":""},"categories":[4],"tags":[],"class_list":["post-3263","post","type-post","status-publish","format-standard","has-post-thumbnail","hentry","category-renungan"],"_links":{"self":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/3263","targetHints":{"allow":["GET"]}}],"collection":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts"}],"about":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/types\/post"}],"author":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/users\/1"}],"replies":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/comments?post=3263"}],"version-history":[{"count":1,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/3263\/revisions"}],"predecessor-version":[{"id":3265,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/posts\/3263\/revisions\/3265"}],"wp:featuredmedia":[{"embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/media\/3264"}],"wp:attachment":[{"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/media?parent=3263"}],"wp:term":[{"taxonomy":"category","embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/categories?post=3263"},{"taxonomy":"post_tag","embeddable":true,"href":"https:\/\/www.kesaksian.org\/wp-json\/wp\/v2\/tags?post=3263"}],"curies":[{"name":"wp","href":"https:\/\/api.w.org\/{rel}","templated":true}]}}